Oleh : Prof. Dr. Muhamad Murtadlo (Peneliti Ahli Utama Kementerian Agama / BRIN)
Pada tanggal 3 Januari 2022, dunia riset di Indonesia terjadi peristiwa besar, yaitu diambil sumpahnya hampir semua peneliti yang selama ini tersebar di 33 lembaga kementerian menjadi peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peristiwa penggabungan semua peneliti dalam satu lembaga ini konon menjadi peristiwa penyatuan profesi peneliti terbesar di dunia. Beberapa negara termasuk Tiongkok dan beberapa negara lain konon sedang melakukan hal yang sama. Indonesia menginginkan dengan proses penggabungan ini dunia riset dan kemajuan iptek yang dihasilkan di Indonesia ke depan bisa digenjot kemajuannya.
Dengan upacara pengambilan sumpah dari sejumlah peneliti dari 33 Kementerian menandakan babak baru bahwa penggabungan ini sudah melangkah beberapa tahap, di mana integrasi sebelumnya baru sebatas peneliti di lingkungan Lembaga Pemerintah non Kementerian (LPNK), yang terdiri dari LIPI, Batan, Lapan dan BPPT. Maka mengawali tahun 2022, peneliti dari 33 Kementerian juga diambil sumpahnya untuk bergabung ke lembaga BRIN. Selanjutnya tersisa 6 Kementerian segera menyusul bergabung, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Perindustrian.
Peristiwa penggabungan peneliti bukan sepi dari pro dan kontra. Banyak spekulasi yang muncul mewarnai usaha penggabungan ini seperti anggapan adanya usaha politisasi profesi peneliti, kebebasan akademis yang mau dikontrol yang dikhawatirkan justru akan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. BRIN sendiri adalah lembaga baru yang merupakan realisasi dari pelaksanaan UU No. 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). lembaga BRIN hari ini dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 78 Tahun 2021. Dengan demikian, BRIN merupakan lembaga pemeintah yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden untuk menjalankan fungsi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.
Menjadi pertanyaan: bagaimana nasib riset keagamaan setelah peneliti agama bergabung ke BRIN? Akankah mengalami kemajuan atau justru kajian keagamaan menjadi tidak jelas arahnya. Selama ini dengan berada di Kementeraian Agama, peneliti mempunyai keleluasaan dalam mengatur anggaran untuk melaksanakan riset-riset keagamaan. Di Lingkungan Kementerian Agama terdapat 143 peneliti agama yang menyatakan bergabung ke BRIN. Hanya saja perosesnya bertahap, tahap pertama 124 peneliti dengan pangkat peneliti Madya ke bawah bergabung lebih dahulu, dan tahap kedua 19 peneliti Ahli Utama menyusul menunggu persetujuan dari Sekretariat Negara.
Selama ini, riset keagamaan dalam lingkup Kementerian Agama ditopang setidaknya oleh tiga jenis institusi, pertama, penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementerian Agama, di mana penelitian keagamaan dipergunakan untuk memperkuat perumusan kebijakan di bidang pembangunan keagamaan yang menjadi tugas dan fungsi Kementerian Agama. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh civitas perguruan tinggi keagamaan, dalam hal ini dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa. Ketiga, penelitian keagamaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga riset independen baik itu yang berada di sekitar kampus atau di luar kampus seperti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, Lakspesdam NU, Maarif Institut dan lain sebagainya.
Khusus di lingkungan birokrasi Kementerian Agama, penelitian keagamaan selama ini dilaksanakan oleh peneliti agama yang berada di unit Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Kehadiran lembaga ini secara embrional dimulai tahun 1970-an yang meliputi tiga fokus kajian, yaitu: 1) layanan keagamaan dan kerukunan oleh pemerintah seperti layanan pernikahan, layanan hukum terkait keagamaan, layanan haji umroh, layanan terkait pembangunan rumah ibadah, layanan administrasti zakat, wakaf dan ibadah sosial dan sekarang berkembang juga ke layanan jaminan produk halal; 2) layanan pendidikan agama dan keagamaan yang meliputi layanan pendidikan yang diurusi Kementerian Agama seperti layanan pendidikan agama di sekolah, layanan pendidikan madrasah, layanan pendidikan keagamaan dan layanan pendidikan agama di perguruan tinggi dan layanan pendidikan tinggi keagamaan; 3) konservasi dan pengembangan literatur dan khazanah keagamaan yang meliputi beberapa fokus kajian dan pengembangan: dimulai dari kajian kitab suci keagamaan, kajian literatur keagamaan klasik, kajian literatur keagamaan kontemporer, kajian rumah ibadah, kajian sejarah sosial keagamaan, kajian floklore keagamaan, manuskrip keagamaan.
Berbagai hasil penelitian yang dihasilkan peneliti agama telah memberikan landasan kuat dari kebijakan pembangunan yang terkait dengan keagamaan seperti mengawal pelaksanaan UU PNPS 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama; pengawalan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 1975 yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri tentang peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah; Peraturan Menteri Bersama (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah; ketentuan pembangunan Rumah Ibadah; pengawalan implementasi UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 terkait persamaan status lembaga pendidikan yang dikelola Kementerian Agama dan produk-produk hukum lainnya.
Disamping itu berbagai layanan yang bersifat penelaahan khusus seperti pentashihan al Qur’an, buku-buku keagamaan yang meresahkan publik, buku-buku pendidikan agama, naskah akademik terkait keagamaan, produk-produk hukum terkait dengan fungsi keagamaan. Beberapa pengembangan juga telah menghasilkan seperti penerjemahan kitab suci, khususnya al Quran, dalam berbagai bahasa daerah, Digital manuskrip Keagamaan (Tesaurus), kamus istilah keagamaan, ensiklopedi tokoh Agama Nusantara, berbagai jurnal keagamaan, buku-buku kajian keagamaan dan berbagai prosiding kajian keagamaan.
Saat ini ketika peneliti agama digabungkan ke BRIN, sesungguhnya ada berbagai produk penelitian dan pengembangan yang berjalan seperti 12 jurnal penelitian keagamaan dengan kebanyakan akreditasi Sinta 2, publikasi prosiding internasional tahunan, yaitu Prosiding International Conference on Religion and Education (INCRE) dan Prosiding International Symposium of Religious Life (ISRL) dan penilaian buku-buku agama. Ketiga layanan khusus ini, sejauh ini tidak dibawa ke BRIN dan hal itu tentu menimbulkan pertanyaan tersendiri dari sisi kontinuitas dan kualitas layanan khusus ini. Karena ketiga program tersebut melekat sebagai property Kementerian Agama dan belum ada kejelasan apa boleh dibawa atau tidak oleh Peneliti Agama ke BRIN.
Ide integrasi peneliti ke BRIN didorong keinginginan untuk mendongkrak kemajuan iptek di Indonesia. Beberapa indikator yang sering disebut sebagai sebuah kemajuan iptek sebuah bangsa seperti jumlah rasio peneliti per sejuta penduduk, jumlah publikasi hasil penelitian, jumlah publikasi internasional, jumlah hak paten dari inovasi. Dari beberapa data disebutkan bahwa saat ini rasio peneliti Indonesia baru 90 orang/sejuta penduduk. Sebagai perbandingan, India mempunyai 140 peneliti per sejuta penduduk; Jepang mempunyai 5000 peneliti per sejuta penduduk; Korea Selatan mempunyai 6500 peneliti per sejuta penduduk.
Dari jumlah publikasi riset, per tahun Indonesia baru mencapai 40.000. Jumlah ini kalau dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia masih kalah. Selama 4 tahun dari tahun 2016-2020 jumlah publikasi riset Indonesia mencapai 161.000; sementara malaysia mencapai 173.000. kalau dibagi rata-rata pertahun 40.000 publikasi riset di Indonesia, sementara Malaysia telah mencapai 44.000 pertahun (Bisnis.com 27/1/2021).
Dari sisi capaian hak paten. Partisipasi peneliti Indonesia mendapatkan paten masih rendah. Di beberapa negara maju seperti Jepang dan Korea selatan antara jumlah publikasi jurnal dengan jumlah hak paten, justru lebih tinggi capaian angka patennya. Pada tahun 2020, paten peneliti Indonesia yang mendapat grant tercatat sebanyak 3.546 paten. (kemenkumham.go.id 5/11/2020)
Kembali ke riset keagamaan, tidak semua riset keagamaan bisa diukur dengan ukuran seperti di atas. Misalnya terkait dengan hak paten, mengacu pada Undang undang Paten No. 13 Tahun 2016 disebutkan bahwa dalam Pasal 9 huruf c UU Paten diatur bahwa invensi yang tidak dapat diberi paten salah satunya adalah teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Ilmu keagamaan lebih dominan sebagai pemahaman atau ilmu pengetahuan. Karena itu, merumuskan masalah-masalah paham keagamaan dalam konteks paten nampaknya jauh panggang daripada api.
Hal yang mungkin dilakukan barangkali terkait dengan peningkatan jumlah peneliti agama dan publikasi riset keagamaan. Terkait peneliti agama, kehadiran berbagai perguruan tinggi keagamaan dari masing-masing agama yang ada di Indonesia secara langsung atau tidak langsung akan menambah jumlah peneliti agama, demikian juga dengan publikasi riset keagamaan. Dengan pengintegrasian penelitian agama ke BRIN, memang riset keagamaan masih bisa berjalan dengan adanya Perguruan Tinggi Keagamaan dan lembaga riset independen yang fokus dengan riset keagamaan.
Sedangkan dari sisi riset keagamaan yang diinisiasi oleh birokrasi negara, dengan bergabung ke BRIN saat ini, riset keagamaan masih ada kekhawatiran besar bakal menyempit. Akibatnya, negara terkesan kurang menganggap riset keagamaan sebagai komoditas unggulan sebagai nilai lebih bangsa. Padahal sebagai bangsa yang dikenal dan religius dan memiliki keragamaan agama, salah satu hal yang bisa diharapkan adalah lahirnya kemajuan ilmu agama masing-masing agama. Pada saatnya Indonesia bisa menjadi negara sebagai pusat referensi agama-agama. Tidak saja agama tertentu,dalam hal ini Islam, tetapi juga berlaku untuk semua. Bayangkan kalau pemeluk Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Islam dari berbagai bangsa berbondong-bondong belajar agama ke Indonesia
Pengintegrasian peneliti agama ke BRIN tanpa keberadaan Organisasi Riset (OR) keagamaan yang mandiri, menyebabkan riset keagamaan hanya bersifat fungsional.
Riset keagamaan tidak lagi menjadi obyek formal dan riset keagamaan menjadi minim diinisiasi oleh birokrasi negara, dalam hal ini BRIN, secara langsung. Karena ketiadaaan OR Keagamaan berarti tidak memiliki Rumah Program yang bisa menentukan dan membiayai proposal penelitian jenis tertentu, menyebabkan penelitian keagamaan tidak bisa dijadikan prioritas penelitian yang bisa dilakukan. Mudah-mudahan, kesan ini salah dan ke depan ada peluang bagus untuk memajukan riset keagamaan melalui BRIN, semoga.