Sejak era reformasi perpolitikan Indonesia mengalami perubahan mendasar. Penerapan sistem politik otoriter di masa Orde Lama dan Orde, di era reformasi berubah menjadi sistem politik demokratis. Dengan adanya jaminan kebebasan berekspresi dan berorganiassi, era reformasi melahirkan dinamika politik, diantaranya lahirnya Parpol-Parpol baru. Meski akhirnya berguguran satu per satu dan hanya 9 Parpol lolos parlemen.
Partai politik menghadapi persoalan terkait dengan pelembagaan partai. Umumnya, partai-partai politik menghadapi persoalan pelembagaan partai yang belum lemah, yaitu masalah ideologi dan platform, Parpol era reformasi rata rata berideologi nasionalis, Islam, dan sosial demokrat. Namun sangat sulit membedakan satu partai dengan lainnya karena persoalan lemahnya Papol dalam menysun platform atau Menyusun program yang riil. Parpol masih terjebak pada narasi narasi yang abstrak dengan program yang tidak konkrit.
Parpol juga memiliki problem kohesivitas (keutuhan) dan manajemen konflik, munculnya faksi-faksi di internal Parpol membawa konflik yang destruktif dan menganggu kelembagaan Parpol. Perebutan pucuk pimpinan dan kepemimpinan yang tidak demokratis sering megakibatkan terjadinya konflik dan perpecahan Parpol.
Berikutnya adalah lemahnya rekrutmen dan kederisasi. Akibatnya banyak sekali kader-kader Parpol yang terabaikan sehingga banyak lompat ke Paprol lain atau bahkan mendirikan Paprpol sendiri. Selain itu, sistem kepartaian yang ada ternyata belum kompatibel dengan sistem pemerintahan presidensil sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif.
Hal tersebut sebagimana diungkapkan oleh Peneliti LIPI, Prof. Lili Romli dalam sebuah tulisannya di Jurnal Politica DPR RI tahun 2016, Prof Lili Romli berpandangan bahwa problem utama Parpol di Indonesia adalah sistem kelembagaan dimana mengakibatkan Parpol sulit menjalankan fungsi-fungsi kepartaian.
Parpol dalam sebuah sistem demokrasi memiliki fungsi-fungsi penting yang sejauh ini tidak berjalan dengan baik di Indonesia. Fungsi mediasi antara rakyat dengan pemerintah, pencalonan kandidat dalam Pemilu, pengorganisasian pemerintah, akuntabilitas publik, Pendidikan politik dan fungsi pengatur konflik. Nampak jelas tidak berfungsi dengan baik.
Dan, Parpol di Indoensia lebih cenderung mengarah ke sistem klientelistik dibandingkan programatik atau kharismatik. Akibatnya Parpol terjerat sistem transaksional, kepemimpinan yang oligarkis, karena lebih mengutamakan individua tau bahkan menonjolkan kepentingan klien yang menjadi donator atau pemberi jasa keuangan Parpol.
Ketidakjelasan Parpol dalam ideologi dan platform, lemahnya manajemen konflik, dan buruknya kaderisasi adalah faktor utama bagaimana Parpol di Indonesia sebagai pilar demokrasi tidak berfungsi.
Inilah ancaman besar bagi demokrasi Indonesia, The Power of Cartel yang sampai saat ini makin menguat. Paprol-Parpol semakin tidak bisa menjalankan fungsi kepartainnya dan semakin terjerumus dalam sistem kartel dengan kepemimpinan yang jatuh pada praktik oligarki dibanding upaya membangun dmeokrasi dari dalam Parpol itu sendiri.
Embrio Kartel
Karenanya, Parpol di Indonesia dekat sekali dengan sistem budaya kartel. Membangun sebuah koalisi yang nampakn sekali ideologinya seharusnya bersebrangan, koalisi mudah dibangun atas dasar kepentingan untuk mempertahankan organisasi dengan mengambil sumber daya negara demi menghidupi Parpol.
Di Indonesia, sistem kartel ini tercermin dalam usaha untuk merangkul semua partai politik yang berlainan ideologi. Semua ini dilakukan untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen dan juga pemerintah. Tujuan utamanya adalah untuk berkoalisi, namun koalisi buka untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan elite-elite politik dan klien-klien Parpol yang selama ini menjadi donator Parpol.
Budaya politik kartel ini jelas dapat menciptakan sebuah pemerintahan yang tidak sehat bagi sebuah negara. Dan terlebih lagi bagi kehidupan demokrasi. Politik kartel melapangkan jalan bagi mulusnya kekuasaan oligarkis yang dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki uang, dalam jaringan kekuasaan korup dan saling menutupi kesalahan.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Katz & Mair dalam Changing models of party organization and party democracy: the emergence of the cartel part menyebutkan bahwa politik kartel dapat juga disebut sebagai sistem kerjasama yang memiliki kecenderungan untuk menciptakan dan mendukung status quo.
Sistem Parpol kartel telah memberikan keleluasaan praktik korupsi di Indonesia, menghilangkan sistem checks and balances, matinya suara kebebasan, dan membawa harapan palsu kepada sistem demokrasi ideal untuk Indonesia.
Budaya Kartel
Sistem politik multipartai era reformasi telah membentuk budaya baru, budaya Parpol kartel. Budaya politik kartel menjadi salah satu faktor suburnya korupsi di Indonesia. Dimana, Parpol kartel menciptakan sistem kerja sama yang mampu menjaga dan mengatur negara sesuai dengan kepentingan kelompoknya, terutama dalam mencari sumber pendanaan yang berasal dari keuangan negara.
Kushkirdo Ambardi, seorang pengamat politik, menilai bahwa sejak era reformasi, partai-partai yang ada di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel.
Ambardi lalu menunjukkan beberapa fenomena di Indonesia yang memperkuat watak kartelisme yang tercermin dalam relasi partai-partai di Indonesia. Setidaknya ada lima hal yang dapat menjelaskan bagaimana Parpol di Indonesia berada dalam budaya kartel. Pertama, menurut Ambardi, dalam sistem kepartaian di Indonesia era reformasi, Parpol kehilangan ideologi dalam sistem kepartaian.
Padahal, dari ideologi inilah, partai menurunkan program-programnya dalam bentuk platform (blue print) dalam sebuah program-program konkret. Ideologi yang seharusnya bisa menjadi instrument komunikasi, terhadap apa yang diperjuangkan Parpol tidak berfungsi. Ideologi juga seharusnya dapat memperkuat cara pandang Parpol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Ambardi, hilangnya ideologi di Parpol memainkan peranan besar bagi perilaku koalisi partai, sehingga terjadi koalisi yang tidak mencerminkan perjuangan ideologi yang diususng dalam tubuh masing-masing Parpol.
Karenanya poin kedua, Ambardi melihat bahwa di Indonesia ada sikap yang gampangan untuk menerima tawaran pembentukan koalisi. Partai-partai di Indonesia sangat permisif ketika ditawar untuk bergabung dalam koalisi. Parpol mudah sekali berkoalisi dengan iming-iming transaksi.
Berikutnya menurut Ambardi, adalah minimnya Parpol untuk mengambil jalan oposisi. Demi menggarong keuangan negara, sumber daya negara untuk menghidupi Parpol, para elit Parpol berlomba-lomba bergabung dengan pemerintah dan menghindari oposisi. Minimnya Parpol oposisi tercermin sepanjang era reformasi, di Era SBY, juga era pemerintahan Jokowi, dimana partai-partai berlomba-lomba untuk bergabung dengan kekuasaan.
Akibat minimnya oposisi, check and balance yang seharusnya menjadi tugas Parpol tidak berjalan. Akuntabilitas publik, fungsi mediasi Parpol anatra rakyat dengan pemerintah mandeg, fungsi mengorganisasi pemerintah tidka berjalan, pengaturan konflik dan pendidian politik menjadi tidak maksimal.
Ambardi juga mengungkapkan, fenomena kartel dalam sistem politik di Indonesia dapat dilihat pada hasil-hasil Pemilu. Hasil Pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik. Selain itu ada budaya kuatnya kecenderungan partai-partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Budaya kartel yang muncul dalam budaya politik di Indonesia ini sangat berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif. Katz & Mair dalam Changing models of party organization and party democracy: the emergence of the cartel party menyebut ciri-ciri budaya politik seperti yang disebut Ambardi ini sebagai politik kartel atau partai kartel.
Praktik Politik Kartel
Salah satu cerminan dari dampak negatif sistem kartel ini ialah kasus dana bailout Bank Century yang masih menyisakan misteri. Dalam kasus ini, terdapat praktik korupsi politik secara tidak langsung yang mengindikasikan adanya persekongkolan elit-elit politik yang terlibat untuk menutupi adanya kejahatan dalam penggunaan keuangan negara.
Fenomena partai kartel dalam kasus Bank Century ini dapat teridentifikasi melalui adanya beberapa rentetan kasus keuangan sebelumnya yang melibatkan elit-elit partai politik. Jejaring kartel ini terlihat jelas ketika Sri Mulyani mengambil kebijakan untuk memberantas mafia pajak. Pemberantasan mafia pajak ini ternyata menyeret politisi berpengaruh.
Tak sampai di sini, selain persoalan mafia pajak, jejaring kartelisme juga terlihat nyata dalam penyalahgunaan dana bailout Bank Century. Saat itu, dana ini dicurigai mengalir ke kantong para petinggi partai Demokrat sebagai modal untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2009. Kedua kasus besar ini, yakni kasus mafia pajak dan kasus Bank Century telah memunculkan konflik kepentingan antar partai Demokrat dan partai Golkar.
Perseteruan antara partai Demokrat dan partai Golkar tersebut baik di parlemen maupun di media secara jelas menyiratkan adanya penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh kedua partai besar ini. Namun menariknya, pada tahap selanjutnya, konflik sengit yang melibatkan para petinggi partai tersebut meredam dan berakhir dengan damai.
Hal demikian terlihat jelas dengan munculnya “koalisi” untuk mewujudkan stabilitas pemerintahan yang damai dengan mengedapankan prinsip kerja sama dan mengurangi konflik. Koalisi yang terbentuk antara SBY dan Ical saat itu dapat disebut sebagai persekongkolan elit partai kartel. Tujuannya tak lain ialah untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan melalui penguasaan terhadap sumber-sumber keuangan negara.
Fenomena kartel berlanjut di era Jokowi. Ketidak-concern-nya Jokowi terhadap isu-isu demokrasi dan pemberantasan korupsi di periode kedua dimanfaatkan oleh elit-elit politik kartel untuk menggolkan revisi UU KPK yang melemahkan usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Revisi UU KPK yang memuat pasal-pasal yang dapat melemahkan kinerja KPK disahkan secara kilat oleh DPR. Hal ini yang kemudian menggerakkan demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran. Mereka melihat ada kejanggalan dalam revisi UU KPK tersebut.
Selain itu, fenomena kartel juga terlihat jelas ketika beberapa elite partai kartel menggulirkan isu amendemen UUD 1945 dengan memasukkan pasal pembatalan pemilihan presiden secara langsung menjadi pemilihan via MPR, mengembalikan GBHN, wacana tiga periode jabatan presiden, dan pilkada via DPRD.Semua wacana ini jelas dapat menurunkan kualitas demokrasi.
Jika negara Indoensia terus menerus dikuasai oleh mesin partai yang bersifat oligarkis nan kartelis ini, demokrasi hanya akan menjadi demokrasi elitis dimana rakyat atau masyarakat bukan lagi menjadi focus utama pembangunan dan kesejahteraan.
Demokrasi elitis seperti ini hanya sekedar sebagai pelapangan jalan bagi terpenuhinya nafsu-nafsu kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi kelompok elit. Mereka bekerjasama untuk melakukan praktik korupsi dan mengganggu kemapanan sistem demokrasi Indonesia.
Peran partai tidak lagi berfungsi sebagai check and balance sehingga matilah partisipasi politik dan suara rakyat. Partai politik tidak lagi memiliki ideology. Mereka malah menghilangkan ideologi untuk memenuhi kepentingan dan kepuasan pribadi dan kelompok.
Ranking Demokrasi Terus Menurun
Dampaknya ranking demokrasi Indonesia terus menurun. Terbaru, Economist Intelligence Unit merilis indeks demokrasi dunia tahun 2020 di 167 negara.
Negara Indonesia mendapatkan skor 7,92 untuk indikator pertama, proses pemilu dan pluralisme. Untuk indikator kedua, yakni fungsi dan kinerja pemerintah, Indonesia memperoleh skor 7,50. Untuk indikator ketiga, yaitu partisipasi politik, Indonesia mendapat skor 6,11. Dalam aspek budaya politik, indikator keempat, Indonesia memperoleh skor 4,38 dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil. Dengan skor ini, Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara tetangga. Indonesia menempati peringkat ke-64 dengan skor 6,3.
Economist Intelligence Unit dalam laporannya mencatat Timor Leste meraih skor 7,19 (peringkat 41 dunia, dan peringkat 6 di Asia Tenggara), Malaysia meraih angka 7,16 (peringkat 43 dunia, 7 di Asia Tenggara), dan Filipina meraih angka 6,64 (peringkat 54 dunia, 9 di regional).
Norwegia dalam laporan tersebut disebut meraih skor tertinggi, yakni 9,81. Skor ini menjadikan Norwegia sebagai negara yang memiliki indeks demokrasi tertinggi di dunia.
Ada lima indikator yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasi suatu negara: pertama, proses pemilu dan pluralisme; kedua, fungsi dan kinerja pemerintah; ketiga, partisipasi politik, keempat, budaya politik dan terakhir, kelima: kebebasan sipil.
Berdasarkan skor yang diraih, negara-negara tersebut diklasifikasikan oleh EIU ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida dan rezim otoriter.
Demokrasi Cacat
Dengan skor tersebut, Indonesia dikategorikan oleh EIU sebagai negara dengan demokrasi cacat. Dan lebih memilukan lagi, Indonesia masih berada jauh di bawah Timor Leste dengan selisih 23 tingkat. Bahkan terkait kebebasan sipil yang menjadi indicator kelima, Timor Leste juga dibilang lebih tinggi dari Indonesia.
Dalam berdemokrasi yang menurun ialah kebebasan sipil, ketakutan menyatakan pendapat, dan aparat yang dinilai semakin semena-mena dalam menangkap warga yang berbeda pandangan dengan penguasa.
Tak hanya soal kebebasan sipil, terkait budaya politik yang menjadi indikator keempat pun, Indonesia masih dibilang meraih skor terendah, yakni 4,38. [YM & Abdul Aziz].