Banyak ahli menilai bahwa bahwa kemunduran yang dialami dunia Islam saat ini ialah karena factor penyatuan antara agama dan negara yang berimplikasi bagi terhambatnya kemajuan di segala bidang. Tak hanya itu, kemunduran di dunia Islam juga akibat dari ketiadaan political sphere.
Ada buku menarik yang membahas sejarah kemunculan political sphere di dunia Islam dan dunia Barat berikut ulasan tentang faktor kemajuan dunia Barat dan kemunduran dunia Islam. Buku tersebut berjudul Les Deux États: Pouvoir et Société en Terre de L’Islam yang ditulis dengan sangat apik oleh Bertrand Badie. Artikel ini akan menjelaskan ide pokok dan persoalan penting yang ingin dijawab tuntas dalam buku tersebut.
Pertanyaan pokok yang ingin dikemukakan dalam buku tersebut ialah : Kenapa sistem ‘negara’ di Eropa yang sebelumnya merupakan negara kerajaan telah bertransformasi menjadi negara modern? Mengapa pula ‘negara’ di Eropa mengalami proses perubahan yang begitu signifikan sehingga menjadi negara dengan modernitas politik yang mapan, negara konstitusi dan negara institusi, negara yang legitimasinya mencerminkan kehendak rakyat sepenuhnya melalui pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil dan bekerja demi kepentingan rakyat?
Sebaliknya, mengapa sistem ‘negara’ di negeri-negeri Muslim mulai dari abad pertengahan sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang berarti seperti yang terjadi di negara-negara Barat? Apa pula faktor kegagalan yang menghalangi langkah-langkah strategis yang dilakukan kaum elitnya untuk mengadopsi ‘modernitas politik’ Barat?
Ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, menariknya Bertrand Badie tidak menggunakan kerangka referensi Eropa sebagai pijakan analisisnya. Sebaliknya, Badie mengungkap ‘apa yang khas’ dari sistem negara model Eropa ini lalu membandingkan sistemnya dengan negara-negara di masyarakat Islam.
Badie menjelaskan dua model negara yang berbeda: negara Eropa dan negara Islam ini secara bersamaan dengan alasan bahwa dua model negara tersebut merupakan model yang kontras karena yang pertama merupakan kebalikan bagi yang kedua. Dua model negara tersebut juga relasinya bukan relasi cabang dengan asalnya.
Dengan melihat ‘apa yang khas’ dari model negara Eropa melalui pembacaannya terhadap model negara muslim, pada tahap selanjutnya, Badie dapat melihat karakteristik-karakteristik dasar yang melandasi sistem dari model negara di dunia Islam. Karena itu, dengan menggunakan metode komparatif, Badie paling tidak ingin mengemukakan secara jelas bahwa negara model Eropa modern yang merupakan negara institusi dan negara kepentingan tertinggi (dikontraskan dengan negara otoriter yang mencerminkan kepentingan keluarga atau kelompok pemangku negara) berdiri setelah adanya proses historis yang panjang di Eropa.
Proses perubahan dari negara kerajaan menjadi negara institusi dan konstitusi ini tidak lain merupakan hasil dari munculnya ruang baru dalam kehidupan sosial masyarakat Barat. Para ahli menyebutnya sebagai political sphere, ruang gerak masyarakat madani di luar negara yang menjadi kekuatan politik yang berperan menyaingi dominasi raja dan gereja dan menjadi pengganti bagi kedua institusi tersebut dalam kehidupan politik.
Political sphere ini pada mulanya muncul sebagai dampak dari konflik antara raja dan gereja di masa abad pertengahan, sebuah konflik yang dampaknya memunculkan teori yang menyatakan bahwa otoritas gereja berasal dari Tuhan dan karena itu kedudukannya lebih tinggi sementara itu otoritas raja berasal dari rakyat dan karena itu kedudukannya lebih rendah. Pembagian sumber kekuasaan dan otoritas ini pada tahap selanjutnya memunculkan pandangan bahwa seorang raja bisa dicopot dari jabatannya sebagai raja jika tidak bekerja memenuhi kepentingan rakyat dan kepentingan umum.
Berangkat dari sini, muncul elemen ketiga di tengah pusaran dua kutub yang berlawanan: raja/negara dan gereja/agama. Elemen ketiga ini sebut saja rakyat, kepentingan umum dan legitimasi kekuasaan yang didasarkan pada kontrak sosial…semua ini membentuk semacam ruang politik baru di luar dominasi raja dan gereja yang mencerminkan apa yang sering disebut Badie sebagai modernitas politik.
Modernitas politik itu sendiri tercermin dengan munculnya institusi-institusi di luar negara yang berperan sebagai kekuatan penyeimbang terhadap dominasi raja. Meminjam bahasa Gramsci, institusi di luar kerajaan ini membentuk masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society) yang berhadapan dengan masyarakat politik, yakni negara dengan segenap elemen-elemennya.
Itulah yang terjadi di Eropa. Sedangkan di negeri-negeri Islam, menurut Badie, tidak dikenal proses kesejarahan ini dan karena itu, tidak pernah mengalami keterputusan relasinya dengan raja. Raja sendiri di negeri-negeri muslim ini merupakan negara itu sendiri. Di negeri-negeri Islam ini, sang raja ialah negara dan negara adalah raja (l’etat est moi). Menurut Badie, faktor yang menyebabkan tidak munculnya political sphere (kekuatan politik baru di luar negara dan gereja) di dunia Islam disebabkan oleh ketiadaan pemisahan peran gereja atau agama dengan negara atau politik.
Atau dengan kata-kata lain, bagi Badie, di dalam Islam, tidak ada garis pemisah yang jelas antara apa yang menjadi peran negara dan apa yang menjadi peran agama. Sejarah negeri-negeri Islam tidak pernah mengalami konflik kepentingan antara peranan raja dan peranan gereja yang melahirkan sekularisasi atau pemisahan mana yang menjadi wilayah keduanya. Ini tentu jika dilihat dari masa lalu kesejarahannya.
Adapun jika dilihat dari kekiniannya, Badie berpandangan bahwa kegagalan elit-elit politik modern Arab dalam mengadopsi modernitas politik Barat dan menerapkannya di negeri-negeri Arab-Islam dikarenakan political sphere di wilayah ini masih diisi oleh raja dan agama secara bersamaan. Artinya kondisi politiknya tidak berubah dan masih seperti di abad pertengahan. Faktor inilah yang dapat menjelaskan mengapa gerakan-gerakan oposisi yang muncul di dunia Arab Islam saat ini melawan raja dan kalangan elit modern sekaligus; pemerintah dan parlemen.
Di hadapan kegagalan ideologi modernitas politik yang diadopsi dari Eropa tersebut, solusi yang muncul di hadapan rakyat ialah Islam. Di negara-negara Arab Islam, sarana yang paling efektif untuk membolisasi massa ialah Islam. Dari sini kemudian muncul kebangkitan Islam kontemporer di Timur Tengah (sahwah Islamiyyah)…
Ketiadaan konflik antara peran agama dan negara di negeri-negeri yang mayoritas Muslim, bagi Badie, menyebabkan tidak munculnya peranan elemen ketiga sebagai penyeimbang kekuatan negara. Oleh karena itu, bagi Badie, institusi-institusi politik tidak terlalu berkembang dan negara tidak lain hanyalah ekspresi agama dan politik secara bersamaan. Kondisi ini mencerminkan bahwa negara di dunia Islam tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyatnya. Negara hanyalah cerminan dari kehendak penguasa atau pemangkunya yang tidak bisa dicopot oleh rakyatnya.
Kendati bukunya ini sangat menarik untuk dibaca, namun kita tentu bertanya-tanya soal asumsi yang dikemukakan Badie mengenai faktor ketiadaan modernitas politik di dunia Islam sebagai akibat dari ketiadaan pemisahan antara wilayah agama dan negara. Tentu Badie dalam hal ini tidak menyajikan sesuatu yang baru. Bahkan pembacaannya terkesan mengesampingkan faktor lain yang sebenarnya lebih penting dari soal relasi agama dan negara dalam dunia Islam. Misalnya seperti faktor munculnya kapitalisme dan imperialisme di dunia Islam.
Bertrand Badie dalam bukunya Les Deux États: Pouvoir et Société en Terre de L’Islam mengulas bagaimana dunia Islam tidak mengalami proses modernisasi politik seperti yang terjadi di Barat. Hal demikian dikarenakan bagi Badie dunia Islam tidak mengenal otoritas gereja sebagai lawan untuk otoritas raja.
Ketika konflik antara peranan gereja dan negara di Barat mengambil penyelesaiannya lewat jalur pemisahan wilayah antara keduanya dan sebagai akibatnya memunculkan teori tentang kontrak sosial, muncul lah political sphere di Eropa yang memungkinkan lahirnya institusi-institusi di luar negara sebagai penyeimbang sekaligus pengontrol kebijakan pemerintah.
Di dunia Islam jutsru elemen-elemen sosialnya tidak mengalami proses kesejarahan semacam ini sehingga jika dilihat secara political sphere-nya terkesan bahwa raja adalah negara dan negara adalah raja. Belum lagi ketika dikaitkan dengan agama, raja seolah membangun imaginasinya sebagai institusi yang anti-kritik karena dirinya mengklaim telah mendapat otoritas dari Tuhan.
Akibatnya, muncullah di negara-negara yang mayoritas muslim ini para pemimpin otoriter dan totaliter. Konsekwensinya, negara bukanlah cerminan dari kehendak dan kepentingan rakyat. Negara tidak lain hanyalah cerminan kehendak raja dan keluarganya. Jelas bagi Badie kondisi ini sangat kontras sekali dengan negara-negara Barat yang merupakan cerminan dari kehendak rakyat.
Hasil pengamatan Bertrand Badie ini sebenarnya jika dilihat secara substansinya tidak menyajikan hal baru. Pasalnya, modernisasi politik di Eropa tidak lain hanyalah produk dari pertarungan antara raja dan gereja di satu sisi dan pertarungan antara raja dan kalangan Borjuis yang makin meningkat pengaruhnya di sisi yang lain.
Adapun pengamatan Badie yang menyinggung ketiadaan prasyarat objektif yang memungkinkan terjadinya modernisasi politik di negeri-negeri Muslim dan semua ini dikembalikan kepada faktor ketiadaan peranan raja/gereja di masyarakat muslim tentu merupakan hasil kesimpulan yang keliru. Kecuali jika keberadaan gereja ini menjadi prasyarat yang pasti bagi munculnya proses modernisasi politik tapi ini tentu tidak mungkin.
Pengamatan Badie ini seolah mengingatkan kita pada pandangan Max Weber tentang kebangkitan kapitalisme di Eropa. Weber melihat bahwa etika Protestan yang berkembang seiring dengan semangat reformasi agama oleh Martin Luther di abad ketujuh belas dan yang mendorong para penganutnya untuk bekerja keras, berhemat, hidup sederhana telah memunculkan apa yang disebutnya sebagai semangat kapitalisme, semangat yang didasarkan kepada nilai surplus, perencanaan yang tepat, tindakan yang rasional dan seterusnya. Singkatnya bagi Weber kapitalisme dalam kebangkitannya mensyaratkan hadirnya etika protestan terlebih dahulu.
Jika kita gunakan analogi terbalik seperti yang dikemukakan Bertrand Badie dalam bukunya Les Deux États dan tentu masih dalam kerangka Weberian, dapat dikatakan bahwa kapitalisme tidak akan bangkit di dunia Arab dan dunia Islam karena tidak adanya reformasi agama yang terjadi di dunia Islam ini seperti yang terjadi di Eropa oleh Martin Luther. Pengamatan ini jelas menegaskan terlebih dahulu bahwa kapitalisme tidak akan bangkit kecuali dengan satu prasyarat, yakni adanya reformasi agama dengan model yang diperkenalkan Luther dan Calvin. Tentu pandangan ini akan ditolak oleh berbagai ahli.
Kasus yang terjadi di Jepang membuktikan dengan sendirinya bahwa pandangan seperti ini keliru. Bahkan ada sosiolog yang menyatakan bahwa etika Protestan sebenarnya tidaklah menjadi sebab kebangkitan kapitalisme. Adanya kapitalisme karena ekonomi Eropa di saat itu berkembang ke arah akumulasi capital sehingga membangkitkan kapitalisme Eropa.
Berangkat dari sini, kita bisa mengajukan tafsiran lain terhadap proses modernisasi politik dan sistem kapitalisme di Eropa. Kita bisa melihat bahwa modernisasi politik dan sistem kapitalisme yang sebenarnya muncul secara beriringan tidak akan terjadi kalau seandainya pertarungan atau konflik antar kekuatan sosial di tubuh internal masyarakat Eropa terganggu oleh ancaman dari luar yang menghalang-halangi perkembangannya.
Menariknya di Eropa abad pertengahan justru kekuatan asing itu ialah dunia Islam yang menjadi ancaman luar bagi mereka namun ancamannya bukan pada level yang sifatnya fisik tapi lebih kepada kesadaran atau ingatan. Tentu ancaman luar yang hanya pada level kesadaran ini mendorong Eropa untuk bersatu dan maju dalam berbagai bidang, terutama politik dan ekonomi.
Lain halnya dengan dunia Arab-Islam, faktor eksternal merupakan faktor yang paling berpengaruh bagi fenomena kemunduran dan kemandegan Islam. Faktor eksternal ini termanifestasikan ke dalam berbagai bentuk serangan-serangan mematikan dan menghancurkan terhadap dunia Arab mulai dari Hulagu Khan, perang Salib sampai ke imperealisme Eropa modern. Serangan terhadap dunia Islam inilah yang membawa umat Islam kepada kemunduran di berbagai bidang, terutama di bidang politik dan pengetahuan. Inilah faktor eksternal yang paling menentukan masa depan modernisasi politik di dunia Islam.
Berangkat dari fenomena ini, kita mungkin dapat mengajukan pertanyaan: bagaimana nasib modernisasi politik di Eropa kalau seandainya ada kekuatan asing yang mengancam dan membatasi ruang geraknya sebagaimana imperealisme Barat yang menghancurkan dan membatasi ruang gerak kemajuan dan modernisasi di dunia Arab-Islam? Bagaimana nasib industrialisasi di Eropa dan dampaknya berupa rangkaian pertarungan sosial yang berimplikasi kepada kemajuannya jika tidak ada bahan-bahan mentah industri dari dunia Arab-Islam yang diakumulasi dan dikumpulkan melalui penjajahan?
Bagaimana nasib dunia Islam saat ini kalau seandainya Barat atau Eropa membiarkan maju langkah-langkah modernisasi politik yang dilakukan Muhammad Ali di Mesir dan tidak mengintervensi secara politik, ekonomi dan militer? Bagaimana pula kondisi Arab saat ini kalau Eropa tidak mendukung pendirian negara Israel di jantung dunia Arab? Bagaimana nasib dunia Islam kalau seandainya Barat tidak berusaha menjatuhkan Musaddeq di Iran dan mengalahkan Abdul Naser di Mesir…?
Jelaslah dari sini bahwa ketiadaan modernisasi politik di dunia Arab modern tidak hanya dapat ditafsirkan melalui kemasalaluannya namun juga dapat dijelaskan melalui kekiniannya. Bahkan kehadiran Barat yang imperealis sebagai kekuatan internasional gerak lajunya didasarkan kepada usaha-usaha menghalangi kemajuan dunia Arab-Islam dan Dunia Ketiga pada umumnya.
Meski factor eksternal sangat menentukan, tidak berarti kita mengabaikan faktor-faktor internal yang tidak boleh dikecilkan perananya dalam menghambat kemajuan dunia Islam. Terlepas dari factor internal ini, tetap saja, imperealisme Barat selalu hadir sebagai penghalang terbesar bagi kemajuan di Dunia Islam saat ini dan menjadi kekuatan terbesar yang membendung arus modernisasi politiknya sehingga wajarlah political sphere di dunia Islam ini hanya diisi oleh raja, dan itu artinya sangat menghambat laju kembangnya. Allahu A’lam.
Oleh : Abdul Azis