Oleh: KH Halim Mahfudz
Secara sederhana, reputasi adalah gambaran kualitas atau karakter keseluruhan orang-seorang atau organisasi yang ditangkap dan dipahami oleh masyarakat. Reputasi ini terbangun dalam waktu yang panjang, akrab dengan interaksi atau konektivitas dan ada upaya yang berkesinambungan. Reputasi tidak bisa dibangun dengan sulapan ala “Bandung Bondowoso;” hari ini disampaikan, besok langsung terjadi dan menikahi Roro Jongrang. Dan sekarang ini adalah jaman membangun reputasi. Orang-seorang dan organisasi berkepentingan membangun reputasi untuk kepentingan masing-masing.
Membangun reputasi inilah salah satu pekerjaan utama para praktisi public relations sejak jaman Edward Bernays mengubah perempuan Amerika dari perempuan “kolot, kampungan,” menjadi perempuan “perokok, berpikiran bebas” pada tahun 1920-an. Perubahan ini bahkan disebut sebagai era emansipasi perempuan babak pertama. Dan era sekarang ini akan menjadi bukti bahwa reputasi harus dibangun dengan perhitungan waktu, tidak bisa mendadak atau jangka pendek. Periode 2023 – 2024 di Indonesia adalah periode yang dibutuhkan oleh orang-seorang atau organisasi untuk membangun reputasi seperti yang dicanangkan “The Father of Public Relations (PR)”. Edward Bernays benar-benar mendapat gelar “The Father of PR” dan ahli propaganda. Dan dia tidak keberatan dengan sebutan sebagai pakar propaganda. Dia bahkan menulis buku berjudul Propaganda tahun 1928.
Bernays berhasil melakukan propaganda besar untuk perusahaan rokok tahun 1920-an. Ketika itu, perusahaan rokok American Tobacco Company pusing karena upaya mereka mencari jalan keluar mengatasi kemandengan pengembangan penetrasi pasar rokok ternyata mandeg. Berbagai upaya telah dilakukan untuk membuka pasar rokok tetapi belum berhasil.
Sampai awal 1920-an, perempuan di Amerika sudah merokok meski merokok bagi perempuan di kalangan masyarakat masih dianggap tabu. Bahkan publik menganggap perempuan perokok itu cerminan perempuan tidak bermoral atau pelacur. Ini karena perempuan perokok tidak paham seni merokok! Mereka bahkan tidak tahu cara memegang rokok dan menikmati rokok.
Seorang manajer hotel menulis bahwa perempuan “don’t really know what to do with the smoke. Neither do they know how to hold their cigarettes properly. Actually they make a mess of the whole performance. Tobacco companies had to make sure that women would not be ridiculed for using cigarettes in public.” Untuk inilah maka Philip Morris menyeponsori seri ceramah mengajarkan perempuan seni bagaimana merokok.
Saat itulah juragan besar perusahaan rokok American Tobacco Company bertemu dengan Edward Bernays yang lagi ngetop. Mereka mencurahkan kegelisahan mengembangkan pasar rokok, sementara Bernays punya konsep tentang propaganda. Dan jadi, ketemulah dua kepentingan dua pihak; pabrik rokok yang butuh pengembangan pasar rokok dan konsep PR Edward Bernays. Lalu mereka sepakat melakukan kampanye atau propaganda besar membuat perempuan Amerika merokok sebagai lahan pasar baru bagi perusahaan rokok di AS tahun 1920an.
Strategi pun dikembangkan bagaimana membuat perempuan Amerika merokok. Mereka mengembangkan banyak pendekatan dan pengenalan ide-ide baru termasuk memperkenalkan “Torch of Freedom,” mengubah persepsi bahwa merokok bagi perempuan justru adalah pembebasan dari belenggu.
Pengenalan ide-ide baru ini adalah salah satu pendekatan orang-seorang atau organisasi membangun diri dan reputasi. Ada ide-ide nasionalisme, ide kebangsaan, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan ide-ide yang nyeleneh dan tidak dikenal publik demi membangun konon yang namanya reputasi, misalnya penggunaan agama untuk membenarkan kelompok sendiri dan menyudutkan orang lain.
Di saat masa balapan membangun reputasi dalam waktu singkat ini, bakal banyak muncul manuver-manuver dan penggunaan informasi yang susah dilakukan verfikasi. Kasak-kusuk hingga fitnah bakal bermunculan dan ikut adu lomba demi balapan membangun reputasi. Tapi perlu diingat bahwa ; fitnah dan informasi bodong ini hanya menghasilkan reputasi yang bodong dan isunya segera usang juga!