Oleh Poempida Hidayatulloh, 

Mantan Relawan dan Lulusan Imperial College & Bristol University

               Menjelang Pemilu 2024 tak hanya partai politik bermanuver, tetapi juga mereka yang menamakan relawan. Mereka rame-rame, mendukung bakal calon presiden maupun wakil presiden. Bermunculan-lah relawan Ganjar Pranowo, Prabowo Subainto, Anies Baswedan, Erick Thohir, Sandiaga Uno, hingga Ridwan Kamil dan lainnya.   Bahkan, kelompok relawan yang pernah mendukung Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 pun muncul. Mereka  ikut-ikutan bergerak menggelar Musyawarah Rakyat (Musra).

Dengan Musra, gabungan kelompok relawan Jokowi ini ingin menjaring bakal calon pemimpin nasional di berbagai daerah. Walaupun Jokowi tak maju lagi sebagai calon presiden, tetapi tampaknya untuk kepentingan legacy atau warisan pemerintahannya, gabungan kelompok relawan ini tetap eksis. Mereka merasa punya andil untuk cawe-cawe menjaring agar benar-benar pengganti Jokowi dapat meneruskan program dan kepemimpinan Jokowi.

Kehadiran kelompok ini tak dapat ditampik begitu saja.  Tampaknya, kehadiran mereka telah menjadi keniscayaan dalam praktik politik. Meskipun Jokowi yang didukungnya tak lagi punya hak konstitusional, relawan-nya tetap harus ada. Tentu kepentingan Jokowi dan kepentingan  para relawan bertemu. Kehadiran relawan tak hanya mengisi kekosongan ruang publik yang tak terisi oleh partai politik maupun organisasi massa tetapi karena tuntutan kepentingan.

Dalam kandidasi, kelompok relawan sekarang ini datang dan pergi. Suatu saat bisa muncul, tetapi saat lain bisa saja menghilang. Bahkan, bisa juga saat ini mendukung, dan suatu saat bisa menolak. “Jago”-nya ditinggalkan, beralih mendukung “jago” lain. Hal ini tentu boleh-boleh saja. Apalagi sekarang ini, klaim tentang keberadaan kerelawanan cenderung sangat besar, di antaranya karena kehadirannya selain menciptakan demokrasi dan memoles kandidat sebagai sosok yang baik dan lebih baik di mata lawan-lawannya. (The Politics of Volunteering, Nina Eliashop).

Makna Relawan

Istilah relawan berasal dari kata sukarela, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna ikhlas, inisiatif sendiri dan tak berharap imbalan apa pun saat mengerjakan sesuatu yang dituju, dan bukan tugasnya itu. Dengan demikian, definisi sukarelawan atau singkatnya relawan adalah individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mendapatkan upah secara finansial atau mengharapkan keuntungan materi dari organisasi yang menggerakkan kegiatannya itu. Kegiatan yang dilakukannya bersifat sukarela untuk menolong orang lain tanpa ada harapan imbalan.

Banyak relawan yang bergerak di bidang sosial, seperti dokter yang rela membantu masyarakat saat bencana, atau membantu membersihkan lingkungan lewat bentuk kerja bakti. Banyak bentuk-bentuk kegiatan relawan lainnya, yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan lingkungannya.

Relawan juga dapat berafiliasi pada suatu entitas kolektif atau pun perkumpulan seperti parpol, organisasi masyarakat, profesi, ikatan alumni, dan bahkan sampai pengurus rumah ibadah. Dalam koridor seperti ini, keberadaan mereka berada pada satu payung hukum dan organisasi. Karena dalam tatanan seperti itu, ada suatu badan hukum yang dapat bertanggung jawab secara publik dan kepada negara. Karena itu, jika muncul risiko dari aktifitas para relawan,  maka hal itu jadi tanggung jawab organisasi yang memayungi para relawan.

Jadi “Jamur”

Setelah reformasi 1998, muncul kelompok relawan politik pertama kali. Jelang Pemilu 1999, dukungan secara massif muncul dari para relawan kepada Megawati Soekarnoputri dan partainya, PDI-Perjuangan, yang dianggap “korban” Orde Baru.  Para relawan ini juga turut mengawasi jalannya pemilu agar berlangsung demokratis, jujur adil dan langsung, umum dan bebas rahasia. Para relawan dengan biaya sendiri dan tanpa digerakkan elit memunculkan “pos komando” (posko). Saat itu, dikenal dengan nama Posko Gotong Royong, yang tersebar ke pelosok daerah.

Setelah Pemilu 1999, komunitas relawan pendukung partai dan kandidat calon semakin kuat. Kelompok ini tumbuh seperti “jamur di musim hujan” jelang Pemilu 2004, dan Pilkada 2005 di Kutai Kertanegara. Ada relawan Susilo Bambang Yudhoyo, Jusuf Kalla, SBY-JK, Amien Rais, serta Prabowo, dan Megawati dan lainnya.  Fenomena kelompok relawan politik, terus berkembang hingga sekarang.

Basis kegiatan relawan sejak 2004, terutama muncul di era Jokowi. Di mana dalam dua kali Pemilihan  Presiden (Pilpres), para relawan pendukung Jokowi memberikan warna tersendiri pada basis kemenangannya. Tak sedikit para relawan yang dianggap berjasa kini menempati pos-pos penting mulai dari kabinet, duta besar, hingga BUMN dan lembaga lainnya.  Apakah kontribusi relawan politik ini signifikan memenangkan Jokowi jika hingga masih tetap harus eksis?

Selama ini, berbagai pendapat pengamat memberikan analisis berbeda melihat korelasi dan kontribusi relawan politik. Namun, belum ada yang secara kuantitatif mengukur secara presisi korelasi tersebut. Sebagian berpendapat, gerakan relawan politik mengemuka dalam pilpres dan juga dalam pilkada karena kekecewaan  dan  ketidakpercayaan   masyarakat   terhadap parpol, yang cenderung transaksional. Sementara “mesin” politik sulit bergerak menembus para pemilih, karena sekat-sekat ideologis atau bahkan citra buruk elitnya. Akibatnya, parpol tak mudah menyapa pemilih secara langsung atau bahkan merebut hatinya. Gerakan kerelawanan pun menganggap  parpol tak sejalan aspirasi  publik.

Terkontaminasi oligarki?

Narasi positif tentang keberadaan relawan politik seperti disebutkan, tidak menunjukkan signifikansi terhadap kontribusi kemenangan kontestasi politik. Karena pada faktanya kemenangan pada pemilu dan pilkada, mayoritas tidak pada calon independen, tetapi tetap pada calon-calon yang dinominasi kader dan berasal dari partai. Selain itu, tak ada bukti empiris yang mengatakan gerakan relawan politik ini tak terkontaminasi dominasi kaum oligarki.

Kini dilihat munculnya gerakan-gerakan relawan politik adalah suatu strategi politik yang dimobilisasi dan jauh dari semangat sukarela. Ini berbeda dengan pengalaman munculnya kelompok relawan pasca reformasi dahulu, yaitu euphoria demokrasi.

Parpol dan Ormas diatur secara jelas dalam peraturan dan perundangan meski masih kurang transparansinya manajemen parpol dan ormas tersebut. Namun, tata kelola untuk pertanggungjawaban terhadap publik telah tertata. Bagaimana dengan relawan politik? Bagaimana bentuk tata kelola organisasinya? Apakah kegiatannya menggunakan dana publik atau sponsor yang tak kasat mata dan bagaimana pertanggungjawabannya? Apakah audit-nya ada? Lalu, jika ada masalah seperti penggunaan dana dari hasil pencucian uang misalnya, bagaimana sanksi-nya? Juga organisasinya dibentuk berdasarkan badan hukum apa dan apakah ada AD/ART-nya. Basis pertanggungjawabannya apakah tanggung renteng (kolektif) atau personal? Artinya jika terjadi masalah hukum apakah yang bertanggung jawab seluruh anggota relawan atau sebagian. Itulah sederet pertanyaan terkait eksistensi kelompok relawan saat ini. 

Menjawab isu-isu inilah perlu adanya governance  yang lebih jelas dan lebih baik. Karena, bagaimana pun, akhirnya relawan politik ini tak bersifat sukarela, tapi juga menuntut timbal balik jika menang dalam kontestasi.

Dalam konteks ke depan, seyogianya relawan politik punya basis tujuan, yaitu menjaga kebijakan publik yang ideal. Bukan sekedar menjaga sosok yang dijagokan dan kepentingan imbal balik kekuasaan. **

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *